Thursday, September 17, 2020

TANPA GELAR

Pedoman penulisan karya ilmiah umumnya menetapkan untuk menghilangkan gelar pada setiap orang yang pendapatnya dikutip. Gelar seperti doktor, professor, harus dihilangkan. Bagi pembelajar bidang religius yang mengedapankan adab, mungkin ini bukan hal yang mudah dibiasakan. 

Aturan tersebut bertolak belakang dengan refleks perasaan ingin menghormati orang-orang berilmu sebagaimana mestinya. Perasaan yang sudah ditempat di bi'ah religius selama bertahun-tahun. Umumnya pembelajar tidak bisa nyaman menyebut nama guru-guru mereka hanya dengan menyebut nama. Apalagi orang-orang terkenal yang berdedikasi tinggi dalam bidang keilmuannya. Namun, karena aturannya sudah begitu, perasaan mesti dikalahkan. Karya ilmiah bukanlah karya perasaan.

Aksi yang tak sukses berselaras dengan pemahaman di awal ini juga tercermin pada kisah Nabi Musa عليه السلام saat menemani seorang alim. Ia menyanggupi syarat yang diberikan Sang Alim jika ingin menemani Sang Alim dalam safar: sabar.  Bagi seorang Nabi, tentu sudah cukup paham makna dan hakikat sabar itu. Lebih lanjut, Sang Alim mendeskripsikan detail wujud sabar yang ia syaratkan: tidak bertanya. Sabar untuk tidak bertanya. Bagi Sang Nabi, tidak ada masalah dengan syarat tersebut. Itu hal yang mudah. Ia paham sepaham-pahamnya secara kognitif. Sang Alim sudah membaca bahwa meski Sang Nabi sudah menyatakan "paham", hakikatnya ia belum paham. Sang Alim mengingatkan sesuatu yang sangat penting: 

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا

Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (Q.S. Al-Kahfi: 68). 


Sang Nabi عليه السلام akhirnya tak berhasil memenuhi syarat tersebut. 

Karenanya, sebelum cepat-cepat mengatakan iya dan paham instruksi, perlu untuk memahami hakikat sebuah instruksi. Caranya bisa dengan mengaktifkan pikiran. Merenung. Atau bahkan bertanya lebih lanjut. 

Hikmah penghilangan gelar dalam karya ilmiah agar dapat sabar menaati aturan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, agar sesuatu itu dinilai karena esensinya. Bukan karena ‘gelar’ orang yang mengatakannya atau menuliskannya.

Kedua, dapat menghindari lahirnya arogansi akademik. Bahwa yang bisa dan berhak ngomong hanya mereka yang punya titel akademisi yang hebat.

Ketiga, agar dipahami bahwa titel akademik bukan jaminan kebenaran dan ketepatan sesuatu. Pendapat/pikiran seorang professor sekalipun tetap harus diperiksa dan ditimbang dengan timbangan yang tepat dan sesuai secara ilmiah.

Keempatpenghilangan gelar dalam penulisan karya ilmiah itu akan menghilangkan bias dalam menilai sesuatu. Seorang tukang cukur yang hanya lulusan SMP misalnya, berpeluang atau tepatnya berkompeten untuk mengutarakan suatu pendapat atau pemikiran terkait psikologi orang yang dicukur: bagaimana memegang kepalanya dan bagaimana mengarahkan gunting sehingga kostumer tersebut merasa lebih nyaman. Tukang cukur ini mungkin lebih pantas berpendapat terkait kejiwaan orang yang dicukur daripada seorang psikolog dengan gelar akademik yang formal tapi tidak berpengalaman dalam hal mencukur rambut orang lain.

Kelima, penghilangan gelar pada saat pendapat seseorang perlu ditelisik tepat/sesuainya, adalah lebih Islami. Seorang perempuan dari golongan biasa-biasa saja dapat memprotes seorang Khalifah Umar رضي الله عنه terkait mahar. Tak ada yang mempertanyakan kelas sosial ataupun kelas intelektual wanita tersebut, "Siapa kamu, berani-beraninya protes ke sahabat senior bahkan berposisi sebagai khalifah? Yang tiga kali al-Quran turun bersesuaian dengan pendapatnya yang ia ajukan lebih dulu sebelum ayat turun?"

Sidang sahabat yang mulia sekaligus ilmiah saat itu menimbang pendapat perempuan itu dengan barometer paling mutakhir:  Alquran dan Sunnah. Umar رضي الله عنه pun tak mengusung arogansi kesenioran pun keilmuan. Beliau tunduk tawadhu pada rujukan paling ilmiah dan diakui kebenarannya. 

### Cipayung, 14/05/15

No comments:

Post a Comment